Beranda | Artikel
Menjaga Kemurnian Agama dengan Membantah Penyimpangan
Senin, 1 November 2021

Bersama Pemateri :
Ustadz Abdullah Taslim

Menjaga Kemurnian Agama dengan Membantah Penyimpangan merupakan kajian Islam ilmiah oleh Ustadz Abdullah Taslim, M.A. dalam pembahasan kitab Kun Salafiyyan ‘alal Jaddah. Kajian ini disampaikan pada Sabtu, 23 Rabiul Awal 1443 H / 30 Oktober 2021 M.

Ceramah Agama Islam Tentang Menjaga Kemurnian Agama dengan Membantah Penyimpangan

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu Ta’ala ‘Anha, ketika Hindun binti Utbah mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah suami yang pelit, dia tidak memberikan nafkah yang mencukupi diriku dan anak-anakku kecuali yang aku ambil secara diam-diam darinya dalam keadaan dia tidak tahu.”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membenarkan, beliau bersabda:

خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

“Ambillah dari hartanya yang mencukupi dirimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari)

Yakni mengambil yang sepantasnya dan sewajarnya, tidak lebih daripada yang dibutuhkan. Dari sini kita tahu bolehnya menyebutkan kejelekan seseorang dan ini tidak termasuk ghibah. Karena kalau seandainya ghibah ini terlarang, pasti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan menegur istri Abu Sufyan ini. Tapi ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membiarkan, bahkan mengizinkannya untuk mengambil hartanya secara sembunyi-sembunyi asal sekedar mencukupinya, maka ini menunjukkan bahwasanya mengadukan dan menyebutkan kejelekan diperbolehkan.

Kita harus memahami bahwa ada perbuatan-perbuatan yang memang secara asalnya terlihat masuk ke dalam ghibah karena kita menyebutkan kejelekan orang di belakangnya. Tapi untuk kemaslahatan diperbolehkan di dalam agama.

Menit ke-8:51 Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullah berkata: “Haditst ini dijadikan sebagai dalil tentang bolehnya menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh seseorang kalau tujuannya untuk meminta fatwa atau mengadu kepada orang yang berilmu dan yang semisalnya, ini adalah salah satu tempat yang diperbolehkan padanya melakukan ghibah.”

Memang sebagian dari para ulama mengatakan bahwa seandainya bisa disamarkan namanya (tidak perlu disebut) dan cukup bagi ahli ilmu mengetahui rinciannya, maka tentu itu lebih baik. Tapi kalau seandainya harus disebutkan, maka jelas boleh. Karena tujuannya adalah meminta fatwa dan mengadu kepada orang yang berilmu untuk mencari solusi yang sesuai dengan syariat.

Dalam contoh-contoh di sini menyangkut kemaslahatan satu orang. Bagaimana jika itu berhubungan dengan kemaslahatan penjagaan agama? Misalnya ada seorang yang pemahamannya merusak aqidah yang benar, mempengaruhi kaum muslimin, tersebar, dan orang banyak menyukainya, maka yang seperti ini pantas untuk disebutkan keburukannya. Apalagi kalau kita melihat banyak orang yang tertarik dengan ceramahnya, banyak yang terpengaruh dengan apa yang disampaikannya, maka dalam rangka menjaga agama Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih pantas lagi untuk diperbolehkan disebutkan keburukan-keburukannya dalam rangka memperingatkan kaum muslimin agar menjauhinya.

Penjagaan terhadap agama jelas lebih mulia dibandingkan penjagaan terhadap hak perorangan yang disebutkan di dalam contoh-contoh yang sudah kita bacakan.

Tidak menyebutkan sisi kebaikan

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengingkari perbuatan Hindun Radhiyallahu Ta’ala ‘Anha ketika dia hanya menyebutkan sisi keburukan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengatakan: ‘Kenapa kamu tidak sebutkan kebaikan-kebaikannya Abu Sufyan, dia punya banyak kebaikan,’ ini tidak dibutuhkan karena tujuannya adalah meminta pendapat dari hal yang berhubungan dengan kesalahannya.

Dan Antum tahu, seandainya (perbuatan Hindun) salah, pasti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam langsung mengingkarinya. Sebagaimana kaidah yang Antum kenal di dalam Islam:

لا يجوز تأخير البيان عن وقت الحاجة

“Tidak boleh menangguhkan penjelasan diwaktu yang sudah dibutuhkan.”

Maka ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengingkarinya menunjukkan ini bukanlah kesalahan. Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengingkarinya ketika istri ini hanya menyebutkan sisi keburukan suaminya saja.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak membebaninya untuk menyebutkan kebaikan-kebaikan Abu Sufyan Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu, padahal pastinya dia punya banyak kebaikan.

Ini kritikan kepada pemahaman Sururiyah yang mengatakan bahwa ketika seseorang menyebutkan keburukan-keburukan ahlul bid’ah dalam rangka memperingatkan umat untuk menjauhinya, maka harus juga disebutkan kebaikan-kebaikannya agar seimbang. Jika ini dilakukan di depan orang awam, tentu yang ada bukan memperingatkan, tapi malah mempromosikan.

Orang awam tidak mengetahui itu keburukan yang harus dijauhi, sementara kebaikan-kebaikannya hanya sekedar tambahan saja. Malah mereka menganggap berarti orang ini baik dan bisa ambil kebaikannya. Sehingga peringatan untuk menjauhinya hampir tidak ada artinya.

Lihat Al-Qur’an ketika menyebutkan tentang orang-orang munafik apakah disebutkan kebaikan-kebaikannya? Jawabnya tidak, cukup disebutkan kejelekan-kejelekan. Hal ini karena tujuannya adalah peringatan untuk menjauhi kesalahan-kesalahan mereka sekaligus orang-orang yang melakukan perbuatan buruk tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Mengkritik rawi-rawi hadits dengan cara yang benar (ikhlas, berilmu, teliti), juga membantah perbuatan bid’ah dari ahlul bid’ah, ini wajib di dalam syariat Islam.”

Hal ini tentu karena hubungannya dengan penjagaan terhadap agama. Bagaimana mungkin generasi yang akan datang bisa menerima agama yang murni kalau seandainya generasi sebelumnya tidak berusaha untuk melakukan tashfiyah (pembersihan) dari hal-hal yang dinisbatkan kepada Islam padahal Islam berlepas diri darinya?

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُلُهُ يَنْفُوْنَ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَ انْتِحِال الْمُبْطِلِيْنَ وَ تَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

“Akan membawa ilmu agama ini dari setiap generasi orang-orang yang adil (terpercaya) di antara mereka. Mereka memurnikan dari agama ini upaya-upaya untuk menyelewengkan agama, pemalsuan yang dilakukan oleh orang-orang yang ingin merusak agama, serta pentakwilannya orang-orang yang jahil.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Baihaqi dan yang lainnya)

Download mp3 kajian Tentang Menjaga Kemurnian Agama dengan Membantah Penyimpangan


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/50966-menjaga-kemurnian-agama-dengan-membantah-penyimpangan/